Tangerang. DUASISINEWS. Pemerintah daerah seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi masyarakat melalui pelayanan publik yang efisien dan transparan. Namun fakta di lapangan justru menunjukkan birokrasi sering menjadi penghambat utama. Proses perizinan yang lambat, tidak adanya basis data yang kuat, dan minimnya kajian ilmiah dalam pengambilan keputusan telah menciptakan biaya ekonomi tinggi (high cost economy), menekan pelaku usaha, dan menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik secara tegas menjamin hak masyarakat atas layanan yang cepat, mudah, terjangkau, dan akuntabel. Namun standar tersebut tidak berjalan efektif karena lemahnya implementasi dan pengawasan. Sejumlah kebijakan daerah juga terbukti tidak berbasis data sosial-ekonomi seperti yang diwajibkan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Kondisi ini memperburuk iklim investasi, menghambat pertumbuhan UMKM, menaikkan biaya produksi, dan menciptakan ketimpangan sosial. Dalam banyak kasus, keputusan publik masih didominasi pendekatan politis dibanding ilmiah.
Oleh karena itu, reformasi birokrasi berbasis evidence-based policy dan penguatan audit berbasis data menjadi keharusan konstitusional. Kolaborasi masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga pengawas seperti Ombudsman RI perlu segera diperluas untuk mengatasi maladministrasi serta mendorong pemerintah daerah kembali menjalankan prinsip good governance.
B. KAJIAN AKADEMIK FORMAL
Minimnya Basis Epistemik dalam Birokrasi Pemerintah Daerah: Dampak terhadap Ekonomi Masyarakat dan Pelayanan Publik (Analisis Yuridis-Normatif)
Abstrak:
Penelitian ini menelaah lemahnya basis epistemik (kajian ilmiah) dalam proses pengambilan kebijakan pemerintah daerah yang berdampak signifikan terhadap ekonomi masyarakat dan kualitas pelayanan publik. Kajian dilakukan melalui pendekatan yuridis-normatif dengan menelaah peraturan perundang-undangan, studi kasus, dan fenomena empiris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak kebijakan publik di tingkat daerah dibuat tanpa analisis dampak sosial-ekonomi yang komprehensif dan menjadi penyebab munculnya biaya ekonomi tinggi serta maladministrasi.
Landasan Hukum dan Konsep Normatif:
1. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 58: Kepala daerah wajib melaksanakan prinsip efektivitas, akuntabilitas, efisiensi, dan keterbukaan.
2. UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Pasal 10: Keputusan publik harus berdasarkan data, fakta, dan pertimbangan objektif.
3. UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Pasal 4: Masyarakat berhak mendapatkan pelayanan yang cepat, transparan, dan akuntabel.
4. PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
Pasal 3: penggunaan anggaran wajib memenuhi prinsip efektivitas dan efisiensi.
5. Prinsip Good Governance: Transparansi, Partisipasi, Akuntabilitas, Efisiensi, Responsif, dan Berbasis Hukum.
Urgensi Basis Epistemik
-Keijakan publik yang tidak berbasis pengetahuan dan data mengakibatkan:
-Program tidak tepat sasaran
-Kebijakan tidak sustainable
-APBD boros tanpa output nyata
-Penumpukan regulasi tanpa solusi
-Pelayanan publik stagnan
" Tanpa epistemic basis, pemerintah daerah hanya memproduksi regulasi, bukan solusi.”
Studi Kasus:
Keterlambatan Perizinan Usaha di Pemerintah Daerah X (2023)
-Rata-rata waktu izin: 35 hari (standar nasional 5 hari)
-UMKM menurun 22% dalam 1 tahun
-62% pelaku usaha memilih jalur calo
-Tidak ada integrasi data digital antar dinas (melanggar PermenPANRB No. 59 Tahun 2020)
Implikasi:
-Ekonomi melambat
-Turunnya kepercayaan publik
-Potensi korupsi administratif
-Pelanggaran terhadap UU Pelayanan Publik
Kesimpulan Akademik:
Birokrasi daerah belum sepenuhnya menjalankan amanat konstitusi. Minimnya kajian ilmiah dalam pengambilan keputusan menyebabkan buruknya kualitas pelayanan publik dan menurunnya kondisi ekonomi masyarakat.
( Red )
